Laman

Kamis, 03 Januari 2013

Piring Terbang

"PRAAANG!!!" Piring yang melayang itu menghantam tembok lalu pecah berantakan. Untung aku berhasil menghindar.

Wanita itu, dengan air mata berlinang, entah karena marah atau sedih, berdiri menatapku. Di tangan kirinya ada sekitar 10 buah piring yang siap dia lemparkan...kepadaku. Aku yang masih dalam posisi tiarap karena terkejut menghindari serangan yang pertama tadi, segera bersiap untuk menghadapi serangan kedua.

"PRAAANG!!!" Piring kedua hancur menghunjam lantai keramik. Aku melompat tinggi-tinggi seperti Spiderman untuk menghindarinya.

"Mengapa... Mengapa kau menghindar?" tanya wanita itu sambil menangis sesenggukan.

"Kau sudah gila?! Aku bisa mati kalau piringmu mengenaiku!!!" seruku.

"Mati saja kau. Aku menyesal mengenalmu. Kalau aku bisa meminta pada Tuhan agar diberikan kehidupan yang lain, aku tak ingin bertemu denganmu lagi," tangan kanannya melemparkan piring berikutnya.

Kali ini kecepatannya sangat tinggi. Aku hanya sempat memiringkan badan ke kanan. "PRAAANG!!!" piring itu menghantam tembok, tapi beberapa pecahannya mengenai punggungku.

"Aku bertamu ke sini bukan untuk dilempari piring seperti ini! Aku datang menyampaikan niatanku untuk melamarmu. Mengapa kau malah melempariku dengan piring???" tanyaku geram.

Air seolah tak ingin berhenti mengalir dari matanya. "Di dalam hatiku cuma ada mas Akbar," katanya.

"Sadarlah! Suamimu sudah meninggal! Tak ada gunanya kau mengingat-ingatnya! Kau hanya akan bertambah sedih! Hadapilah kenyataan! Mas Akbar sudah mat..."

"PRAAANG!!!" - "PRAAANG!!!" Tanpa menunggu kalimatku selesai, 2 piring sudah melayang ke arahku. Aku hanya sanggup menolakkannya dengan tangan. Keduanya menyentuh lantai dan pecah berhamburan.

"Mas Akbar takkan suka jika kau berbuat begini," kataku sambil terduduk lemas. Aku tak percaya baru saja mengelakkan 2 piring dengan tangan kosong.

Wanita itu meletakkan sisa piringnya di lemari.

Aku bernapas lega. Sepertinya dia sudah menyadari bahwa perbuatannya tidak baik.

Ternyata aku salah duga. Dia mengambil sebuah akuarium bulat di lemari yang berisi seekor ikan, menghampiriku, dan bersiap menyiramkan airnya kepadaku.

"JANGAN! TUNGGU! TUNGGUUU!!!"

"OWEEEEEKKK!!!"

Terdengar suara tangisan bayi dari kamar sebelah. Wanita itu meletakkan akuariumnya di lantai dan bergegas masuk ke kamar. Aku sungguh-sungguh sangat merasa bersyukur kepada Tuhan. Paling tidak, aku tidak harus pulang dalam keadaan basah kuyup.

Penasaran, aku mengintip dari bibir pintu kamar yang terbuka lebar. Wanita itu sibuk menenangkan bayinya yang berumur 3 bulan. Dia menggendongnya lalu menyusuinya dengan penuh kasih.

"Alifa haus ya? Minum yang banyak ya, sayang," katanya.

Matanya sesaat melihatku yang sedang berdiri merenung melihatnya. Dia cepat-cepat membuang muka.

"Aku ingin membesarkannya sendiri," katanya. "Aku yakin, mas Akbar juga menghendaki demikian. Aku masih belum membutuhkan belas kasihan lelaki lain,".

"Aku mengerti," ujarku. "Kau bisa bilang dengan baik-baik. Tak perlu melempar-lempar piring seperti tadi,".

Dia tersenyum. "Selama ini kau begitu baik padaku. Terlalu baik malahan. Aku tak mau kau menggantikan posisi mas Akbar di hatiku,".

Aku ikut tersenyum. "Aku menyebutnya cinta. Entah bagaimana caramu menyebutnya. Dan aku juga tak mau menggantikan posisi suamimu. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri," kataku dengan mantap.

Dia terdiam. Mata bayi perempuannya yang bulat terus-terusan melirikku.

"Ya sudah. Kalau begitu, aku pulang dulu," kataku seraya membalikkan badan dan melangkah menuju pintu.

"Hati-hati ya, Mas,"

"Ya,"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar