Naik mobil istimewa ku duduk di muka
Ku duduk di samping ayahku yang sedang bekerja
Mengendali mobil supaya baik jalannya
"Yah, ayah, lihat itu yah," aku menunjuk ke taman hiburan lokal. Ada spanduk besar bertuliskan PENTAS LUMBA-LUMBA.
"Ada lumba-lumba yah. Aku mau lihat,"
Ayah melihat spanduk itu sebentar. "Kalau mau lihat lumba-lumba, sebaiknya jangan di situ nak,"
"Kenapa yah?"
"Mereka melatih lumba-lumba itu dengan cara menyiksanya. Sebelum pertunjukan, lumba-lumba tidak diberi makan sama sekali sehingga kelaparan. Mereka baru mendapat makanan setelah dipaksa melakukan atraksi. Itu pun makanannya bukan ikan segar, melainkan ikan yang hampir busuk,"
Aku menunduk kecewa.
"Tapi kalau kamu kepingin lihat lumba-lumba," lanjut ayah, "kita bisa melihatnya di laut. Bagaimana? Mau?"
"Mau! Mau!" aku bersorak kegirangan.
- - -
Perjalanan dari tempat kami menuju laut makan waktu kurang lebih satu jam. Sesampainya di sana kami langsung disambut oleh hamparan pasir putih yang berkilauan. Ayah berbicara dengan penduduk setempat untuk menyewa perahu.
"Ayo sini, nak," ayah mengajakku mengikuti seorang bapak yang memakai topi caping. Ia lebih mirip petani daripada nelayan.
Kami menaiki sebuah perahu.
"Wah, perahunya ada kacanya yah," seruku menunjuk ke bagian bawah perahu. Ayah hanya mengangguk.
Bapak nelayan menyalakan motor di bagian belakang perahu. Kami bertiga meluncur ke tengah laut.
"Ombak hari ini tidak begitu besar, jadi kita pasti bisa melihat lumba-lumba," kata bapak nelayan.
Bapak nelayan mematikan motor. "Tunggu sebentar," katanya.
Aku melihat ke kaca. Banyak ikan berseliweran kesana kemari. Rasanya seperti melihat akuarium, hanya saja ini akuarium yang besar sekali.
Samar-samar aku melihat bayangan di air.
Lumba-lumba? Bukan.
Hiu? Juga bukan.
Dari bentuknya, sepertinya bukan ikan.
Lalu apa? Monster laut?
Aku menepuk lengan ayah. "Yah, itu apa?"
"Itu... manusia," ayah seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, "itu seorang gadis,"
Perlahan bayangan itu naik ke permukaan air, lalu muncul di samping perahu.
"Fuahhh...," gadis itu mengambil nafas. Ia menggeser kacamata renangnya ke atas kepala.
"Jadi, di mana lumba-lumbanya Ka?" bapak nelayan bertanya pada si gadis.
"Di sana pak. Lagi diajak sama teman-teman ke sini," jawab gadis itu sambil menunjuk ke suatu arah.
Ayah mendekati gadis itu. "Ehem, maaf, mbak ini siapa ya?"
"Saya Ika, pak. Pawang lumba-lumba," jawab gadis itu dengan nada riang.
"Tapi... kenapa nggak pakai baju?"
Ika tertawa kecil. "Hehe... kalau pakai baju, berenangnya berat pak. Lagian lumba-lumba lebih senang bersentuhan kulit dengan kulit daripada kulit dengan baju,"
Dari jauh terdengar siulan.
"Ah, itu teman-teman sudah datang," Ika mengenakan kacamata renangnya lagi, "saya permisi dulu ya, pak," sekejap kemudian ia menyelam ke dalam air.
Dari kaca aku dan ayah melihat pemandangan Ika dan teman-temannya bermain dengan lumba-lumba. Aku kagum mereka bisa menahan nafas begitu lama. Jarang sekali mereka naik ke permukaan untuk mengambil nafas. Ayah bahkan tidak berkedip sama sekali. Mungkin beliau takjub pada kepintaran lumba-lumba yang bisa menyesuaikan gerakan tubuh Ika dan teman-temannya.
Beberapa lama kemudian, bayangan Ika dan teman-temannya menghilang dari kaca.
"Sudah selesai," kata bapak nelayan. "Lumba-lumba juga sama seperti kita, mereka butuh istirahat,"
Bapak nelayan menyalakan motor. Perahu meluncur membawa kami bertiga kembali ke pantai.
"Kamu masuklah ke mobil dulu. Ayah mau bicara sama bapak nelayan," ujar ayah.
"Baik yah," aku berlari dan masuk ke mobil.
Aku melihat ayah berbincang-bincang dengan bapak nelayan dan teman-temannya. Lama sekali. Kemudian datanglah Ika dan teman-temannya (sudah memakai baju) ikut dalam pembicaraan mereka. Sesekali Ika tertawa dan menepuk bahu ayahku. Entah apa yang mereka bicarakan.
BRAK! Ayah menutup pintu mobil.
"Gimana, kamu senang nggak?"
"Senang banget yah," jawabku.
"Ayah juga senang," beliau mengeluarkan HP dari sakunya, "ayah dapat nomor HP-nya Ika, Desi, dan Dwi,"
"Buat apa, yah?"
"Itu urusan ayah. Kamu masih kecil, jadi belum mengerti," ayah tersenyum. "Oh iya, satu hal lagi. Kamu jangan bilang-bilang ke ibu ya kalau kita ke sini. Bilang aja kita nonton lumba-lumba di taman hiburan,"
Aku mengangguk.
"Nah, ayo kita pulang,"
Mobil bergerak meninggalkan pantai. Dari kejauhan kulihat Ika dan teman-temannya melambaikan tangan ke arah kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar