Suasana restoran siang ini begitu ramai. Aku duduk sendirian, meneguk sedikit teh soda dari gelas sambil browsing-browsing dengan laptop tercinta. Di pintu restoran terlihat seorang wanita masuk ke dalam. Ia menanyakan sesuatu kepada pelayan, lantas si pelayan menunjuk ke arahku. Wanita itu kemudian melangkah mendekatiku.
Dia sangat cantik. Kulitnya putih bersih dan mulus. Rambutnya hitam legam terurai sampai punggung. Bodynya yang aduhai terbalut oleh tank top ketat warna biru dipadu dengan rok mini dari bahan jeans, ditambah aksesori selendang dan tas mungil warna coklat, semakin memancarkan aura keseksiannya. Setiap ia melangkah, dadanya ikut bergoyang ke kiri dan ke kanan. Semua lelaki yang ada di restoran ini mengarahkan pandangan kepadanya.
"Hai, apa kabar? Lama tak bertemu," sapa wanita itu dengan ramah sambil mengulurkan tangan kanannya.
"Alhamdulillah, kabar baik," jawabku sambil berdiri dan menjabat tangannya. "Mari, silakan duduk,"
"Jadi, ada perlu apa kamu memanggilku kemari?" tanya wanita itu setelah duduk.
"Mohon maaf sebelumnya. Aku ingin menanyakan tentang foto ini," aku memutar laptop, memperlihatkan sebuah foto wanita tanpa busana dengan pose yang menantang. "Apa benar ini kamu?"
Wanita itu tersenyum. "Iya, itu aku. Itu pekerjaanku saat ini,"
Aku mengernyitkan dahi. "Pekerjaan?"
"Iya, aku foto model bugil profesional," katanya. "Aku bersedia difoto telanjang asal dibayar,"
"APA?!" aku terkejut. "Jangan bilang kalau kamu juga bersedia dibayar untuk berhubungan intim dengan para lelaki,"
"Tentu saja," wanita itu tersenyum lagi. "Hanya orang bodoh yang berani menolak rezeki nomplok,"
"Kenapa??" aku menatapnya dengan geram. "Dulu waktu masih SMA, kamu itu gadis baik-baik. Kamu selalu juara kelas. Tingkah lakumu juga nggak macam-macam. Sekarang malah jadi begini. Bahkan kamu juga mengganti namamu dengan nama lain : Erica. Kenapa kamu melakukan hal seperti ini??? Demi apa???"
Erica mengeluarkan rokok dari tas dan menyulutnya. Ia menghembuskan asap dari mulutnya.
"Aku kasihan pada para lelaki," ujarnya, "Sebagian besar dari mereka meninggal dunia di usia muda karena stres dengan pekerjaannya. Teman-temanku, mereka masih perjaka, gajinya besar, tapi karena stres akhirnya mereka terkena penyakit mematikan, lalu meninggal tanpa pernah merasakan kenikmatan dunia,"
Erica menatapku. "Aku bekerja seperti ini demi menghibur mereka. Jika mereka terhibur, mereka akan awet muda dan umur mereka juga akan lebih panjang. Sayang kan, kalau misalnya kaum adam punah dari muka bumi ini? Dunia pasti akan kiamat,"
Aku melongo.
"Oh ya, satu lagi. Aku tidak menyukai nama Sumarni," lanjutnya, "Bagiku, nama itu terdengar sangat ndeso,"
Aku menghela nafas. "Dirimu yang sekarang ini sama saja seperti perempuan-perempuan penjaja cinta di pinggir jalan itu,"
Tiba-tiba Erica terdiam. Ia mematikan rokoknya di asbak, lalu berdiri. "Bisakah kau ikut denganku?"
"Ke mana?" tanyaku.
"Aku baru ingat kalau harus check-out hotel siang ini. Aku butuh bantuanmu untuk mengangkat beberapa koper. Tolong ya?" pintanya.
"Baiklah," jawabku sambil menutup laptop dan memasukkannya ke dalam tas.
---
Mobil sedan merah Erica melaju meninggalkan restoran dan berhenti di depan sebuah penginapan. Kami berdua masuk ke dalam. Erica menaiki tangga, aku mengikuti di belakangnya. Erica berhenti di depan kamar nomor 2103 dan membuka pintunya.
"Itu kopernya," Erica menunjuk sebuah benda yang tergeletak di lantai.
Aku mencoba mengangkat koper itu. Berat sekali. "Kenapa kamu nggak minta tolong office boy hotel aja buat mengangkat koper ini?" tanyaku.
Tiba-tiba... GUBRAK!!! Koper itu terlepas dari peganganku dan jatuh ke lantai saking beratnya. Koper itu terbuka. Ternyata isinya adalah seorang pria buncit berkepala botak, hanya mengenakan celana pendek dan kaus dalam. Wajahnya membiru. Tubuhnya kaku.
"Ini... Mayat?" tanyaku gemetaran. "Erica, kau membunuhnya???"
Erica tak menjawab. CKLIK! Ia mengunci pintu kamar.
"Psikopat! Jangan-jangan, kau juga mau membunuhku?" aku jatuh terduduk karena lemas.
"Dia berdosa kepadaku," Erica meletakkan tas dan selendangnya di lantai. "Setelah bercinta denganku, dia bilang kalau servisku tidak memuaskan. Katanya, istrinya lebih baik dariku. Dia membayarku dengan bersungut-sungut. Menurutnya, bayaranku kemahalan. Tentu saja aku tidak terima dikatai seperti itu,"
Erica melepas tank-topnya dan terlihatlah dada besarnya yang menggiurkan.
Gluk! Aku menelan ludah.
"Kau juga berdosa," ujarnya lagi. "Kau telah mengataiku sama seperti perempuan-perempuan hina di pinggir jalan itu. Aku takkan membunuhmu karena kau temanku sejak SMA. Aku hanya akan membuatmu mengerti bahwa aku berbeda dengan mereka. Aku akan melayanimu secara gratis, tapi lain kali kalau mau lagi, kau harus bayar,"
Erica melepaskan rok dan celana dalamnya. Sekarang ia telanjang bulat. Sambil tersenyum ia mendekatiku. "Tapi aku juga bisa berubah pikiran. Jika kau bicara pada orang-orang tentang mayat itu, aku akan mencari dan membunuhmu," katanya.
Aku cepat-cepat berdiri. "Takkan kubiarkan kau seenaknya merampas keperjakaanku," kataku.
Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja dia sudah ada di depanku. Tangan kanannya memegang bagian vitalku. "Para pria lemah kalau sudah dipegang ekor depannya," katanya sambil tersenyum.
Tangannya mulai bergerak mengocok anuku. Ugh, seluruh tubuhku mendadak lemas, tapi terasa nikmat. Tanpa sadar aku memegangi lengan Erica. Sementara tangan kanannya mengocok, tangan kirinya dengan tangkas melepaskan satu per satu kancing bajuku. Aku menurut saja ketika ia membuang bajuku ke lantai.
CUP! Ia menciumku. Aku terkejut menerima ciuman kilat itu. Sebelum aku tersadar, kedua tangan Erica telah bergerilya melepaskan kait celanaku dan membuka resletingnya. Ia memelorotkan celanaku beserta celana dalam sekaligus.
"Jangan! Aku... Mmmhhh...," bibirku tak sempat berkata-kata karena keburu disambut oleh bibirnya. Tangannya mulai mengocok lagi. Ahhh, nikmatnya bukan main. Aku memeluk Erica. Kuraba-raba tubuhnya, kujilat-jilat lehernya, kuremas-remas dadanya. Ia mendesah-desah keenakan.
Aku tak tahan lagi. Kugendong Erica dan kubaringkan dia di ranjang. Di sana kulampiaskan seluruh hasrat yang terpendam.
Sore itu, keperjakaanku raib di tangan seorang foto model.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar