"Mas, aku butuh uangnya sekarang," rengekmu lewat sms dan telpon kepadaku. Ini adalah yang kesekian kalinya kamu menghutang uang kepadaku dalam jumlah yang tidak sedikit. Alasanmu sangat standar, untuk biaya hidup dan biaya memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Alasan yang sama juga kau utarakan setahun yang lalu. Aku jadi berpikir, apakah nanti kamu akan terus begini, hidup dari tumpukan hutang yang bersumber dariku?
Pekerjaan yang kamu lakukan saat ini, mengajar, adalah pekerjaan impianmu semenjak kuliah. Untuk itu kamu rela mengadu nasib ke ibukota dan meninggalkan ibumu di rumah hanya berdua dengan adik laki-lakimu. Ayahmu telah meninggal dunia saat kamu SMP, dan kupikir itu adalah pukulan telak bagi kondisi ekonomi keluargamu. Ibumu yang bekerja sebagai buruh pabrik rokok harus berhenti bekerja karena kesehatannya memburuk. Kamu sebagai anak pertama bertanggung jawab untuk menafkahi keluarga dari hasil pekerjaanmu.
Pertama kali kamu menghutang padaku, kuanggap itu sebagai suatu hal yang wajar. Seorang cewek, berkelana sendirian di ibukota, mengajar demi memenuhi kebutuhan keluarga, wajar lah kalau kamu kesulitan. Tanpa curiga aku mengirim uang hasil jerih payahku selama bekerja. Tetapi setelah beberapa kali menghutang, aku mulai curiga. Ada sesuatu yang tidak beres.
Kemudian kamu ceritakan bahwa kepala sekolahmu mempunyai bisnis sampingan beternak ikan lele sehingga kondisi keuangan sekolah bergantung pada ikan lelenya (HAH?!). Kalau bisnis lancar, gurunya gajian. Kalau bisnis bangkrut, gurunya gigit jari.
Aku sudah berkali-kali menyuruhmu keluar dari situ dan mencari pekerjaan di tempat lain, namun kamu bersikeras tetap bertahan di situ. "Kasihan murid-muridku, Mas," katamu. Iya bener kasihan murid-muridmu, tapi kalau kamu nggak mengasihani dirimu sendiri, sama aja bunuh diri. KELUARLAH SEKARANG, GOBLOK!!!
Percuma. Kepalamu udah kayak baja. Diomongin kayak gimanapun, nggak ada gunanya.
Aku memutuskan men-stop aliran uang ke kamu. Suatu ketika, kamu merengek meminta pinjaman untuk membayar hutang keluarga yang jumlahnya mencapai delapan digit. Kalau tidak dibayar, rumahmu akan disita. Aku menolak meskipun kamu nangis-nangis. "Bayar dulu hutangmu yang kemarin-kemarin!" jawabku tegas. Entah bagaimana caranya, tetapi akhirnya kamu berhasil mendapatkan pinjaman sebelum tenggat waktu. Dan aku tak perlu mengirimkan sepeser pun kepadamu.
Sekarang kamu meminta pinjaman (lagi) untuk bisa keluar dari sekolah itu. Ya ampun, mau keluar aja harus membayar??? Aku geleng-geleng kepala. Sekali lagi, aku memutuskan menolak meskipun kamu menangis setiap hari. Salahmu sendiri sih, dari dulu disuruh keluar malah ngotot ingin bertahan.
Maaf, tapi kamu harus menanggung sendiri resiko atas pilihan yang telah kamu buat. Kamu yang memulai, kamu juga yang harus mengakhiri, bukan uangku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar